saat ingatan & jari jemari berpelukan, tak ada yang mampu membuatmu berhenti menulis.

Sinar Sang Puan

PANGGUNG ini sudah terlalu lama gelap, ceritanya pun sudah membosankan. Sang Puan kerap melakoni perannya yang monoton. Berlarian kesana kemari, tak berarah, tanpa tujuan yang jelas. Sesaat ia pergi ke sudut berlatar kota yang penuh keramaian, tetapi gelap. Hanya cahaya lampu yang berkilau sesekali. Kehidupan yang cepat dan padat, dengan pemandangan bangunan tinggi berbentuk kotak-kotak, sangat kaku. Sesaat ia pergi ke sudut berlatar hutan, mengitari pepohonan hijau redup, lengkap dengan buah-buahannya. Melewati padang rumput, yang semuanya disinari oleh setitik cahaya bulan yang digantung di atas sana. Kemudian ia kembali berlari, menuju sudut berlatar pantai. Dengan gulungan ombak hitam dan pasir-pasir putih gelap bertebaran yang membasuh lembut kedua kakinya. Dan sesekali, angin pantai berhembus pelan, membelai lembut rambut legamnya. Lalu ia berlari ke sudut lainnya yang berbukit, mencoba menggapai rembulan di atas langit. Tapi terlalu tinggi untuknya. Kemudian ia lelah, dan duduk di tepi sungai dan memandang bayangan seorang makhluk bertubuh gemulai, berambut panjang, dengan kulit yang bersinar indah. Semua sudut itu gelap, malam untuknya, seperti masih panjang. Tak berkesudahan.

“Sudah terlalu lama malam berperan. Aku ingin sinar yang terang. Agar aku dapat melihat lagi warna merah bunga itu, juga yang ungu. Agar aku dapat melihat hijaunya padang rumput itu. Agar aku dapat melihat wajah-wajah berseri di kota. Agar aku bisa menikmati hangatnya sinar itu di pantai. Berapa lama lagi aku harus menunggu? Aku ingin peran baru. Aku ingin panggung yang baru. Dan juga, aku tidak ingin berperan sendirian. Terlalu sepi. Para piguran hanya datang jika diperlukan dalam adegan. Setelah itu, satu per satu akan pergi meninggalkan, hingga tak satu pun yang menetap.”

Kemudian, Sang Sutradara sepertinya mendengar keinginan Sang Puan. Tiba-tiba air sungai beriak dan suara musik kehidupan bergaung pelan. Sosok laki-laki yang berbeda datang silih berganti untuk mendampingi Sang Puan. Ada yang menarik hatinya, kemudian pergi. Ada yang bijaksana, tersenyum hangat namun penuh misteri, kemudian pergi. Lalu ada yang bisa membuat tertawa sepanjang hari, dengan canda tawa tak berakhir, dan kembali pergi meninggalkannya. Masing-masing memiliki sinar, tapi Sang Puan masih duduk di tepi sungai, menentukan hati. Ragu untuk memilih, rasa takut ditinggal pergi, masih menyelimuti dirinya.

“Aku tidak akan memilih. Biarkan mereka semua bersinar, hingga ada satu yang tersisa. Biar kupejamkan mata, dan kubuka hati, hingga sinar tersebut menjadi pemeran pendampingku sebagai Sang Tuan, bersanding menemaniku di sini. Aku akan menunggu. Aku yakin, pasti ada di antara semua sinar itu. Yang benar-benar bersinar dari hatinya. Terus menerus bersinar menemaniku, di atas panggung ini.”

***

Panggung ini masih gelap. Masih sepi seperti dulu. Pemeran utamanya tetap Sang Puan berambut panjang, dengan gaun merah jambu yang terus menari dalam kegelapan di atas panggung yang sepi. Sendirian. Meletakkan semua harapannya pada bulan yang digantung di atas sana. Kadang, ia lelah berpura-pura menari untuk menghibur penonton. Yang ia tunggu hanya satu. Seorang pemeran utama laki-laki, sebagai Sang Tuan, yang dapat memberikan sinar untuk panggungnya. Yang bisa menari bersamanya. Yang bisa melukis langit bersamanya. Ada beberapa yang menghampiri. Begitu bahagia hatinya. Tapi kembali ia salah, lagi-lagi salah. Sinar itu pergi dengan cepat. Dan kembali, gelap menyelimuti panggungnya yang masih sepi.

“Aku hanya meminta satu. Sinar abadi yang bercahaya selamanya. Jangan berikan aku yang hanya sementara. Aku sudah lelah berperan seorang diri, dengan beberapa piguran yang hanya sanggup menemani sesaat saja. Aku bersedia menunggu selama apapun itu. Asalkan Engkau memberiku sinar yang tidak akan meninggalkan, sampai aku, atau dia mati. Aku tidak akan mencari. Aku akan menunggu sampai Engkau memberikan apa yang kuminta. Aku lelah. Lelah mencari kesana kemari.” Sang Puan berkata pada Sang Sutradara.

***

Lalu, sinar yang ia tunggu selama ini datang dengan perlahan. Membelai lembut ruang kosong yang telah lama diselimuti kegelapan. Hangat dan menenangkan. Sang Puan, pemeran utama dalam panggung gelap itu menorehkan senyum yang ia simpan bertahun-tahun selama ini. Panggung miliknya mulai sedikit bercahaya. Ya, Sang Puan telah membiarkan sinar lembut itu menyinari setiap sudut panggungnya. Tapi satu hal yang ingin diketahuinya. Kepastian. Kepastian bahwa ini adalah sinar terakhir. Sinar yang akan terus menerus bercahaya di atas panggung hidup Sang Puan. Selamanya.

~oOo~

-@daisy_kerz

*reblog from:

http://artisticdaisy.wordpress.com/2011/07/02/mencari-sinar/

http://artisticdaisy.wordpress.com/2012/05/07/menunggu-sinar/ 

http://artisticdaisy.wordpress.com/2012/06/13/menunggu-sinar-iii/

Boleh Nulis Komen Loh . . .